Saturday, 27 December 2014
Friday, 5 December 2014
Tugas Tahap Perkuliahan ke-1(d)
Laporan Aktivitas Belajar
Nama Lengkap
|
:
|
Faisal Amin
|
NIM/ No. Registrasi
|
:
|
11031405
|
Alamat email
|
:
|
|
Program & Opsi
|
:
|
Setara D1 – ITB, Jurusan/opsi : TKJ / APL
|
Tahap Perkuliahan ke-
|
:
|
1(d)
|
USBJJ
|
:
|
SEAMOLEC
|
Aktivitas
Belajar Mandiri
|
Rangkuman materi perkuliahan
yang telah saya pelajari (100-400 kata):
|
Tahap Perkuliahan :
Ke-1 (d) – Pengenalan
Komputer, Komputer adalah
suatu rangkaian peralatan elektronik yang bekerja secara bersama-sama yang
membentuk suatu sistem kerja yang rapi dan teliti Sistem ini kemudian dapat
digunakan untuk melaksanakan serangkaian pekerjaan secara otomatis, berdasar
urutan instruksi ataupun program yang diberikan kepadanya.
Konsep dasar komputer :
ü Hardware
ü Software
ü Brainware
Tahap
Perkuliahan ini juga termasuk – Pembuatan Video Dokumentasi Merakit komputer, Dengan adanya pembuatan video dokementasi ini, yang
menjelaskan tentang salah satu fungsi hardware komputer yaitu harddisk
Harddisk Adalah
Penyimpanan data yang cukup besar. Fungsi perangkat harddisk secara umum
adalah untuk menyimpan data yang dihasilkan oleh pemrosesan perangkat
komputer/laptop. Di dalamnya, terdapat sebuah ruang simpan utama dalam sebuah
komputer. Dimana di situlah setiap data dan informasi disimpan olehnya.
Selain memiliki ruang utama, harddisk juga mempunyai komponen-komponen
bagian. Adalah semacam ruang kecil yang terdiri atas direktori, folder,
subdirektori, serta subfolder, yang digunakan untuk peletakan data dan
informasi dari ruang utama harddisk.
|
Kendala atau kesulitan yang
telah saya atasi (termasuk cara mengatasinya) dan yang masih saya hadapi:
|
|
Video
Dokumentasi Belajar
|
Cuplikan gambar (screenshots)
dari Video Dokumentasi Belajar yang telah saya buat:
|
|
Link berikut menampilkan
Video Dokumentasi Belajar yang telah saya upload ke Youtube:
|
Video Tugas Perkuliahan Ke 1(d): - Pengenalan
Komputer.
|
Labels:
Tugas Kuliah
Monday, 1 December 2014
ME-MANAGE WAKTU.
Bagaimana cara memanage waktu? Inilah Prinsip-Prinsip Manajemen
Aktivitas:
1. Disiplin
Disiplin memang paling sulit untuk dilakukan, namun bila kita
sudah berkomitmen, maka ini tidaklah menjadi penghalang kita untuk menuju ke
arah yang lebih baik.
2. Jangan tangguhkan pekerjaan
Jangan tarsok-tarsok*(Ntar,
besok)! Menunda pekerjaan hanya akan mempersulit kita untuk mengerjakan
pekerjaan lain yang terus menerus datang setiap waktunya.
Jika kita melihat mengenai kaitan
waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar
bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari r.a., sebagaimana dituturkan
oleh Abu Ubaid, “Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak
pada prestasi kerja. Oleh karena itu janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari
ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu
lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.”(Kitab
al-Amwal, 10).
Allaah s.w.t. bersumpah dengan masa,
menunjukkan waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa
memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shalih dan dengan waktu pula
seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang dimurkai Allaah. Allaah
s.w.t. berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia
berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih,
orang-orang yang saling nasihat-menasihati dalam kebaikan dan saling
nasihat-menasihati dalam kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)
3. Manfaatkan waktu luang
Memanfaatkan waktu luang sangatlah penting karena “Waktu adalah
Pedang“-“Al-Waqtu Kashshoif”. Arti kata ini mengandung makna bahwa
dengan waktu, manusia bisa menjadi mulia, atau dengan waktu manusia bisa
menjadi binasa.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
”Ada dua kenikmatan yang banyak
dilupakan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang”. (HR.
Bukhari&Muslim)
Imam Al Ghazali, salah seorang dari ulama besar yang meninggal
pada tahun 1111 Masehi, pada suatu majelisnya bertanya 6 hal dengan pertanyaan
sederhana namun mendalam. Salah satunya adalah “Apa yang paling jauh?” Tentu
bukan tempat, benda langit atau lainnya. Tapi menurut Al Ghazali, yang paling
jauh, yaitu masa lalu. Kok bisa masa lalu? Ya iyalah. Kan masa
lalu, meskipun sedetik yang lalu jika sudah berlalu kita tidak akan pernah bisa
menuju ke sana. Jika ukuran jauh karena jarak, pasti kita masih bisa menuju ke
sana. Masa lalu tidak akan bisa (entah nanti, manusia bisa seperti di anime
Doraemon dengan mesin waktunya atau seperti kata Einstein yang kurang lebih begini
: Bila manusia sudah bisa menemukan kendaraan yang setidaknya menyamai
kecepatan cahaya maka ia dapat kembali ke masa lalunya).
Nah, waktu luang sebisa mungkin
diisi dengan hal-hal yang positif, contohnya membaca Al-Quran saat guru belum
masuk ke kelas.
Mengapa aktivitas harus dimanage?
1. Agar mencapai tujuan hidup
Tanpa pengaturan hidup yang matang,
kemungkinan seseorang untuk mencapai keberhasilan sangat kecil.
2. Agar dapat menunaikan hak-hak
orang lain
Tidak hanya diri kita sendiri yang memiliki
hak untuk mendapatkan sesuatu, tetapi juga orang lain pun memiliki hak atas
diri kita.
Misalnya : Memanage waktu untuk membantu orang tua yang
memang memiliki hak atas diri kita
3. Karena kewajiban (pekerjaan)
kita lebih banyak dari waktu yang tersedia
Ingat! Kita tidak hanya mempunyai
hak yang harus didapatkan saja, tetapi juga memiliki serentetan kewajiban. Itu
disebabkan karena sebetulnya di dalam hidup ini kita tidak hanya memerankan
satu peran saja. Peran-peran tersebut, misalnya sebagai:
1. Hamba Allaah (mutlak)
>>> beriman,
2. Anak >>> berbakti,
3. Siswa >>> belajar,
dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu saja, kewajiban itu tidak boleh dikerjakan
asal-asalan saja. Salah satu contoh yang salah adalah ,“Ah, yang penting mah belajar, urusan susah mah gimana nanti, kan tinggal nyontek.”
Bila kejadiannya seperti ini kembali lagi pada kewajiban kita yang mutlak yaitu
sebagai hamba Allaah, orang yang beriman akan berdoa dan bersungguh-sungguh
melakukan segala sesuatu, karena ia yakin Allaah Maha Pengabul doa.
Itulah sebab-sebab mengapa kita harus memanage waktu.
Labels:
Tugas Kuliah
Karakteristik Tawazun
Tawazun Artinya
keseimbangan. Ajaran-ajaran Islam seluruhnya seimbang dan memberi porsi kepada
seluruh aspek kehidupan manusia secara proporsional.
Tidak ada yang berlebihan atau kekurangan, tidak ada perhatian
yang ekstrim terhadap satu aspek dengan mengorbankan aspek yang lain. Karena
semua aspek itu adalah satu kesatuan dan menjalankan fungsi yang sama dalam
struktur kehidupan manusia.
Ada keseimbangan antara
bagian-bagian yang bersifat fisik (zahir) dan metafisik (gaib) dalam keimanan.
Ada keseimbangan antara kecondongan kepada materialisme dan spiritualisme dalam
kehidupan.
Ada keseimbangan
antara aspek ketegasan hukum dan persuasi moral dalam bernegara. Ada
keseimbangan antara Sunnah Kauniyah yang eksak dan pasti dengan kehendak Allah
yang tetap bebas dan tidak terbatas (seperti dalam kasus istri nabi Ibrahim
yang melahirkan di usia yang sangat tua, atau Maryam yang melahirkan tanpa
proses biologis normal, atau pendinginan api bagi Ibrahim dan lainnya, semua
ini tanpa harus mengganggu kepastian gerak alam yang dapat diobservasi oleh
manusia secara empiris).
Ada keseimbangan antara
ibadah yang bersifat mahdhah (khusus) dengan ibadah dengan wilayah yang luas.
“Dan segala sesuatunya Kami ciptakan dengan kadarnya masing-masing.” (QS 54:49)
“Engkau takkan penah menemukan pada ciptaan Allah Yang Maha Pengasih sesuatu
yang tidak seimbang.” (QS: 67: 3).
Ciri keseimbangan ini
telah memproteksi Islam dari keterpecahan dan dikhotomi yang selalu ada dalam
ideologi lainnya. Ada spiritualisme yang ekstrim dalam gereja di abad
pertengahan, tapi juga ada materialisme yang ekstrim pada kaum sekuler. Ada
porsi kelompok yang berlebihan dan sosialisme, tapi juga ada porsi individu
yang ekstrim dalam kapitalisme liberal. Ini menciptakan pertentangan-pertentangan
dalam struktur ideologi dan senantiasa mewariskan kegoncangan psikologis akibat
ketidakutuhan dalam diri pada pemeluknya.
Labels:
Tugas Kuliah
KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP RASUL
Adapun bukti kebutuhan manusia
terhadap para Rasul, dapat kita lihat dari fakta bahwa manusia adalah makhluk
Allah SWT. Dan beragama adalah sesuatu yang fitri pada diri manusia, karena
termasuk salah satu naluri yang ada pada manusia. Dalam fitrahnya, manusia
senantiasa mensucikan Penciptanya. Aktivitas inilah yang dinamakan ibadah, yang
berfungsi sebagai tali penghubung antara manusia dengan Penciptanya. Apabila
hubungan ini dibiarkan begitu saja tanpa aturan, tentu akan menimbulkan
kekacauan ibadah. Bahkan dapat menyebabkan terjadinya penyembahan kepada selain
Pencipta. Jadi, harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan
peraturan yang benar. Hanya saja, aturan ini tidak boleh datang dari manusia.
Sebab, manusia tidak mampu memahami hakekat Al-Khaliq sehingga dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan
Pencipta. Maka, aturan ini harus datang dari Al-Khaliq. Karena aturan ini harus
sampai ke tangan manusia, maka tidak boleh tidak harus ada para Rasul yang
menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.
Bukti lain kebutuhan manusia
terhadap para Rasul adalah bahwa pemuasan manusia terhadap tuntutan gharizah
(naluri) serta kebutuhan-kebutuhan jasmani, adalah keharusan yang sangat
diperlukan.
Pemuasan semacam ini jika dibiarkan berjalan tanpa aturan
akan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan menyimpang, yang pada gilirannya
akan menyebabkan kesengsaraan umat manusia. Dengan demikian, harus ada aturan
yang mengatur setiap naluri dan kebutuhan jasmani ini. Hanya saja, aturan ini
tidak boleh datang dari pihak manusia. Sebab, pemahaman manusia dalam mengatur
naluri dan kebutuhan jasmani selalu berpeluang terjadi perbedaan, perselisihan,
pertentangan, dan terpengaruh lingkungan tempat tinggalnya. Apabila manusia
dibiarkan membuat aturan sendiri, tentu aturan tersebut akan memungkinkan
terjadinya perbedaan, perselisihan, dan pertentangan, yang justru akan
menjerumuskannya ke dalam kesengsaraan. Maka aturan tersebut harus datang
dari Allah SWT melalui para Rasul.
Labels:
Tugas Kuliah
MENGIKUTI RASULULLAH
Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw.
dan para Shahabat beliau (Khulafa’ur Rasyidin)
Kaum Salafi & Wahabi sering mengajukan dalil
tentang perintah mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau
dalam rangka mengharamkan bid’ah yang mereka tuduhkan. Dalil yang
paling jelas adalah hadis Rasulullah Saw. berikut ini:
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِيْ اخْتِلاَفاً
شَدِيْدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ
الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه)
“Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan
mendengar serta taat (kepada pemimpin) meskipun ia seorang budak hitam. Dan
kalian akan melihat perselisihan yang sangat setelah aku (tiada nanti), maka
hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin mahdiyyin
(pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk), gigitlah ia dengan gigi geraham
(berpegang teguhlah padanya), dan jauhilah perkara-perkara muhdatsat (hal-hal
baru dalam agama), sesungguhnya setiap bid’ah itu kesesatan” (HR. Ibnu
Majah. Hadis senada diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Di dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Saw.
menyebutkan:
… وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ
وَسَبْعِيْنَ مِلَّةًً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا
وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (رواه
الترمذي)
“… dan akan terpecah umatku kepada 73
golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Mereka (shahabat)
bertanya, “siapakah itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang aku dan
para shahabatku berada di atasnya” (yang mengikuti jalanku dan para
shahabatku-red) (HR. Tirmidzi).
Perintah mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan
para Khulafa’ur-Rasyidin itu tidak disangsikan kebenaran dan keutamaannya.
Hanya dengan cara itulah kita dapat menjalani kehidupan dengan selamat di dunia
dan di akhirat. Hal itu bukan saja karena Rasulullah Saw. dan para shahabat
merupakan figur-figur teladan di dalam ketaatan terhadap agama, tetapi juga karena
Allah sendiri telah memberikan mereka keutamaan secara khusus di dalam
al-Qur’an.
Kaum Salafi & Wahabi lantas menjadikan
hadis-hadis tersebut sebagai batasan bagi definisi bid’ah, sekaligus
sebagai pembatasan sumber rujukan umat dalam memahami agama. Artinya, apa yang
tidak pernah dikerjakan atau dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat
dalam urusan agama, baik prinsip maupun formatnya, langsung mereka golongkan ke
dalam kategori bukan “sunnah/jalan Rasulullah Saw. dan para shahabatnya” alias bid’ah
dan kesesatan. Ini tampak jelas dalam definisibid’ah
yang mereka buat dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan
di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para
Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal” (lihat Ensiklopedia
Bid’ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid’ah,
karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.
Pada perkembangannya, mereka memberikan ruang
lebih luas bagi umat Islam untuk mengikuti juga orang-orang yang hidup di masa
setelah shahabat, yaitu para tabi’in yang kemudian disebut dengan
generasi salaf. Hal ini disimpulkan dari sabda Rasulullah Saw:
خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه البخاري)
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku,
kemudian masa orang-orang sesudah mereka, kemudian masa orang-orang sesudah
mereka” (HR. Bukhari)
Pada hadis di atas disebutkan 3
masa terbaik (sejak masa Rasulullah sampai + masa 300 H. atau masa tabi’in)
dari kehidupan umat Rasulullah Saw. yang kemudian disebut dengan generasi salaf
(terdahulu), dan kaum Salafi & Wahabi menjadikan generasi salaf tersebut
sebagai sumber rujukan yang mutlak dalam beragama. Itulah mengapa mereka merasa
lebih utama dari selain golongan mereka dan dengan bangga menamakan diri dengan
“Salafi” (pengikut generasi salaf).
Tidak ada yang salah dengan tekad mereka
mengikuti generasi salaf, sepanjang mereka tidak menganggap bahwa setelah masa
generasi salaf itu tidak ada lagi kebaikan yang pantas dijadikan teladan atau
rujukan bagi umat dalam urusan agama. Permasalahannya bermula saat
kaum Salafi & Wahabi seperti membatasi kebenaran dan kebaikan hanya ada
pada generasi salaf tersebut (generasi umat Islam yang hidup antara masa
Rasulullah Saw. sampai masa tabi’in) dan tidak ada lagi setelahnya, lalu
mengobarkan semangat kembali kepada ajaran salaf bulat-bulat tanpa melihat mata
rantai ulama pewaris mereka yang juga telah menghasilkan kebaikan-kebaikan
untuk umat.
Mari kita kembali kepada permasalahan dalil. Pada
dalil-dalil tersebut di atas, terdapat isyarat-isyarat yang sepertinya tidak
dipahami dengan jelas oleh kaum Salafi & Wahabi, dan hal ini sekaligus
menunjukkan kekeliruan-kekeliruan mereka dalam mengambil kesimpulan, yaitu:
1. Khulafa’ur-Rasyidin
al-Mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk) sering
dimengertikan sebatas 4 khalifah setelah Rasulullah Saw., yaitu: Abu Bakar
ash-Shiddiq Ra., Umar bin Khattab Ra., Utsman bin ‘Affan Ra., dan Ali bin Abi
Thalib Ra. padahal Rasulullah Saw. tidak menyebutkan demikian kecuali hanya
isyarat-isyarat saja. Di dalam riwayat Abu Dawud, Sufyan ats-Tsauri
(ulama salaf) menambahkan Umar bin Abdul Aziz ke dalam lingkup khulafa’
tersebut sehingga jumlahnya menjadi 5. Ini menunjukkan bahwa pengertian Khulafa’ur-Rasyidin
memang tidak ada kepastiannya kecuali hanya merupakan ijtihad dari para ulama
karena melihat isyarat dari dalil-dalil yang ada serta karena memperhatikan
keutamaan-keutamaan yang ada pada pribadi mereka. Dan itu tidak menutup
kemungkinan adanya pengertian lain tentangnya.
Salah satunya adalah seperti yang disebutkan oleh
as-Sindi ketika menjelaskan hadis tersebut di dalam Sunan Ibnu Majah,
قيل هم الأربعة وقيل بل هم ومن سار سيرتهم
من أئمة الإسلام المجتهدين في الأحكام فإنهم خلفاء الرسول عليه الصلاة والسلام في
إعلاء الحق وإحياء الدين وإرشاد الخلق إلى الصراط المستقيم
“Dikatakan mereka itu
(khulafa’ur-Rasyidin) adalah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali),
dan dikatakan bahkan mereka itu adalah khalifah yang empat dan siapa saja yang
menempuh jejak mereka dari para Imam (pemimpin) Islam yang berijtihad
(mujtahidin) dalam hal hukum, maka sesungguhnya mereka itu adalah
khulafa’ur-Rasul (pengganti Rasulullah Saw.) yang meninggikan kebenaran,
menghidupkan agama, dan membimbing umat kepada jalan yang lurus.”
Secara obyektif, kita memang tidak melihat
pembatasan makna khulafaur-Rasyidin pada dalil-dalil yang ada, dan
bahwa kata khalifah (jamak: khulafa’) tidak selalu diartikan
sebagai pemimpin atau penguasa, tetapi ia secara mendasar dapat diartikan
“pengganti” bila dilihat dari asal katanya. Maka, khulafa’ur-Rasyidin
al-Mahdiyyin itu tidak hanya 4 khalifah tersebut atau tidak terbatas hanya
di tingkat shahabat saja, melainkan dapat berlaku bagi generasi selanjutnya
sampai hari kiamat bagi siapa yang memenuhi kriteria rasyidin (lurus)
dan mahdiyyin (mendapat petunjuk) sehingga pantas disebut sebagai khalifah
(pengganti/penerus) bagi panutan yang sebelumnya.
2. Pengertian
kata Sunnah pada hadis-hadis di atas sangat
umum , artinya bukan saja menyangkut format/bentuk tertentu dari
perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang dikaitkan kepada Rasulullah
Saw. dan para shahabat beliau, tetapi juga termasukisyarat, prinsip
dasar baik-buruk yang mereka pertimbangkan, dan cara memandang atau menyelesaikan
masalah, yang semua itu dapat terus digunakan rumusannya sebagai acuan
untuk menetapkan hukum pada perkara-perkara masa depan yang tidak ada
format/bentuknya di masa para shahabat tersebut.
Di sinilah terdapat hikmah pada penyebutan sunnatil-khulafa’
ar-Rasyidin (sunnah/jalannya para khalifah yang lurus). Sebagaimana
disebut di dalam Tuhfatul-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Imam
asy-Syaukani menjelaskan:
إذا كان ما عملوا فيه بالرأي هو من سنته لم يبق لقوله “وسنة الخلفاء الراشدين” ثمرة.
Jika apa yang mereka
(Khulafa’ur-Rasyidin/para shahabat) lakukan dengan pendapat akalnya (dianggap)
itu termasuk sunnah Rasulullah Saw., maka tidak akan tersisa tsamrah
(buah/faidah) pada ucapan beliau “sunnah khulafa’ur-Rasyidin”
.
Ya, jika para shahabat itu hanya mengikuti apa
yang dicontohkan Rasulullah Saw., cukuplah itu disebut juga sebagai sunnah
Rasulullah Saw. Tentunya penyebutan sunnahkhulafa’ur-Rasyidin secara
khusus menunjukkan kondisi mandiri di saat para shahabat tidak menemukan contoh
atau dalil dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw., maka mereka berijtihad
untuk menentukan hukum sendiri dengan berpegang pada prinsip-prinsip dasar atau
isyarat dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. tersebut. Hasil ijtihad
inilah yang secara mandiri disebut sebagai sunnah khulafa’ur-Rasyidin atau
sunnah shahabat, dan cara berijtihad yang mereka jalani itu
sah dan dapat ditiru oleh orang-orang setelah mereka di saat tidak menemukan
contoh atau dalil dari sunnah (hasil ijtihad) para shahabat tersebut.
Otoritas terciptanya sunnah (hasil
ijtihad) semacam itu ditunjukkan oleh riwayat hadis Rasulullah Saw. saat
melepas kepergian Mu’adz bin Jabal Ra. ke Yaman, di mana beliau bertanya, “Dengan
apa engkau menetapkan hukum?” Mu’adz menjawab, “Dengan Kitab Allah
(al-Qur’an).” Rasulullah Saw. bertanya, “Bila tidak engkau temukan (di
Kitab Allah)?” Mu’adz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasulullah
Saw. bertanya, “Jika tidak engkau temukan (di Sunnah Rasulullah)?”
Mu’adz menjawab, “Aku berijtihad dengan pendapatku.” Maka Rasulullah
Saw. berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada
utusan Rasul-Nya.”
Penyebutan suatu amalan atau ketetapan sebagai
suatu sunnah juga ditunjukkan oleh hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi
“Man sanna fil-Islam sunnatan hasanatan…”(siapa yang menetapkan di
dalam Islam suatu sunnah/ketetapan/kebiasaan yang baik …), dan penyebutan
sunnah ini tidak terbatas hanya pada amalan
Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau saja. Terbukti bahwa hadis tersebut
juga menyebut adanya sunnah sayyi’ah
(sunnah/ketetapan/kebiasaan yang buruk) yang tidak mungkin dialamatkan kepada
Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau. Lengkapnya hadis Rasulullah
Saw. tersebut berbunyi:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ
أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم)
“Barang siapa yang mensunnahkan
(membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah hasanah
(ketetapan/kebiasaan baik) maka bagi dia pahalanya dan pahala orang
yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi pahala-pahala mereka
sedikitpun, dan barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam
Islam suatu sunnah sayyi’ah (ketetapan/kebiasaan buruk)
maka atas dia dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun” (HR. Muslim)
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى
ابْنِ آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا ِلأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ
مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ (رواه مسلم)
“Tidaklah dibunuh satu orang secara zhalim,
melainkan anak Adam yang pertama (Qabil) mendapat dosa dari (penumpahan) darah
orang itu, karena ia adalah orang yang pertama mensunnahkan
(membuat/menetapkan) pembunuhan” (HR. Muslim)
Bila kaum Salafi & Wahabi menafsirkan kata “sanna
sunnatan hasanatan” di atas dengan makna “menghidupkan sunnah yang baik”
dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. yang telah ditinggalkan orang karena
melihat asbab wurud (latar belakang dikeluarkannya hadis tersebut)
yaitu berkenaan dengan sedekah, maka tafsiran itu sungguh keliru dan sangat
menyimpang. Sebab kata “sanna” artinya “membuat, meletakkan,
menetapkan”, dan untuk makna “menghidupkan” ada kata “ahyaa” yang
jelas disebut di dalam riwayat hadis lain.
Kejanggalan tafsiran mereka akan lebih terlihat lagi
bila dihubungkan dengan ungkapan “sanna sunnatan sayyi’atan” pada
lanjutan hadis tersebut, yang bila diartikan menurut pemahaman mereka “menghidupkan
sunnah yang buruk” dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. Dengan begitu
kita akan bertanya, apakah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau mengajarkan
keburukan yang juga harus ditiru oleh umatnya??!
3. Bila lingkup
rujukan agama hanya dibatasi pada generasi salaf saja (dari masa Rasulullah
Saw. sampai masa tabi’in + 300 H.), lalu para ulama setelah mereka
dianggap tidak memiliki otoritas untuk menjelaskan agama atau untuk mengijtihadkan
hukum, terutama tentang perkara-perkara yang tidak ada di masa salaf tersebut,
maka hal ini berarti pengingkaran dan pendustaan terhadap hadis
Rasulullah Saw. tentang akan datangnya ulama mujaddid
(pembaharu) yang akan diutus oleh Allah pada setiap akhir masa satu abad (100
tahun). Perhatikanlah hadis Rasulullah Saw. berikut ini:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ
لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا
دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat
ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama
mereka” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).
Disebutkan di dalam ‘Aunul-Ma’bud, bahwa
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang
berbeda, yaitu:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ
مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
“Sesungguhnya Allah ta’ala menetapkan pada
akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama
mereka.
Hadis ini menandakan adanya legitimasi
dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para
ulama pewaris Rasulullah Saw. yang bukan hanya dari kalangan shahabat beliau
saja atau para ulama salaf saja, tetapi juga para ulama pada tiap-tiap masa
yang diakui keluasan ilmunya. Artinya, memahami al-Qur’an dan
hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui pemahaman dan penjelasan para ulama
tersebut adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan
sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus ke dalam kesesatan. Itulah
rahasia kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul
keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup
beliau dan sangat berbeda kualitas keimanannya dibandingkan para shahabat atau
para tabi’in. Dan kita yakin, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh wahyu
Allah, dan ini bisa dikatakan sebagai salah satu rencana-Nya bagi kelestarian
Islam di masa depan.
Otoritas penjelasan ulama di setiap
generasi dalam berijtihad (di antaranya ijtihad tentang pembagian bid’ah
menjadi dua: Hasanah & sayyi’ah)
legalitasnya tidak hanya ditunjukkan oleh dalil di atas, bahkan Rasulullah Saw.
secara umum menyebut mereka sebagai “Pewaris Para Nabi” sebagaimana sabdanya:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ
اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا
الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذي وأبو داود
وابن ماجه وأحمد وغيرهم)
“Sesungguhnya para ulama adalah
pewaris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham,
mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil (mengupayakan)nya,
berarti ia telah mengambil bagian yang sangat banyak” (HR. Tirmidzi, Abu
Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Bila ditanyakan, ulama yang manakah yang
termasuk kategori mujaddid atau yang pantas
mendapat label “pewaris para nabi” itu? Nama-nama para mujaddid
dan para ulama yang terkenal seperti berikut ini dapat dikategorikan ke dalam
golongan “pewaris para nabi” sebagaimana pengakuan umat terhadap keutamaan
mereka, yaitu : Khalifah Umar bin Abdul Aziz (mujaddid abad ke-I),
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I (mujaddid abad ke-II), Imam
Ahmad bin Hanbal, Imam Abul Hasan Asy’ari, Imam Isfarayini, Imam Rafi’I, Imam
abul-‘Abbas bin Suraij (Mujaddid abad ke-III), Imam Sahl ash-Sha’luki
(mujaddid abad ke-IV), Imam Ghazali (mujaddid abad ke-V),
Imam Fakhruddin ar-Razi (mujaddid abad ke-VI), Imam Nawawi (mujaddid
abad ke-VII), dan para ulama lain yang mengikuti jejak mereka sampai hari
kiamat.
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami
bahwa mengikuti Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau secara umum tidak
terbatas pada format/bentuk amalan yang mereka lakukan di masa itu saja
(kecuali ibadah mahdhah seperti: shalat, puasa, zakat, atau lainnya),
tetapi juga pada cara-cara mereka berijtihad, berinovasi, dan berkreasi untuk
menetapkan atau menciptakan “sunnah hasanah” (ketetapan/kebiasaan yang
baik) yang secara jelas telah diketahui kebaikan dan maslahatnya di dalam
pandangan agama.
Berinovasi dan berkreasi dalam kebaikan
adalah suatu kebutuhan, terlebih lagi di zaman-zaman belakangan di mana umat
Islam sudah semakin rendah kualitas keberagamaannya dan kurang perhatian
terhadap ajaran agama. Tentu landasannya bukan karena ingin membikin-bikin
syari’at baru, bukan pula untuk menambah-nambah agama, karena batasan-batasan
antara perkara pokok atau ibadah di dalam agama dengan amalan kebajikan yang
universal adalah jelas, tidak mungkin hal itu diabaikan oleh para ulama.
Lagi pula, dalam hal ini mereka tetap mendasarinya dengan dalil-dalil yang
secara implisit atau eksplisit mengisyaratkan kebolehannya, bukan dengan
dorongan hawa nafsu sebagaimana dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi.
Keprihatinan mereka terhadap keadaan umat lah yang membuat mereka perlu
melakukan inovasi itu.
Fenomena menganggap baik dan mengamalkan bahkan
menganjurkan kegiatan-kegiatan berbau agama seperti: Peringatan Maulid Nabi
Muhammad Saw., zikir berjamaah, tahlilan, ziarah kubur orang shalih, dan lain
sebagainya adalah gambaran jelas dari upaya para ulama dalam memelihara
kebaikan hidup umat Islam, sekaligus dalam rangka membuka peluang-peluang
mendapat rahmat dan hidayah untuk mereka. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan
tersebut, entah sengaja atau tidak sengaja, umat terhitung melakukan kebaikan
berupa: Zikir kepada Allah, bershalawat kepada Rasulullah Saw., silaturrahmi,
mendengarkan nasihat dari ulama, dan berbagi rezeki antar sesama, dan
kebaikan-kebaikan ini jelas ada dalilnya di dalam agama.
Luar biasanya, para ulama yang tawadhu’
itu hanya menyebut kegiatan-kegiatan tersebut sebagai bid’ah
hasanah, padahal Rasulullah Saw. jelas-jelas menyebut
kebiasaan baik yang semacam itu sebagai sunnah hasanah.
Mengapa demikian? Kemungkinan alasannya adalah agar tidak terjadi
kesimpang-siuran dalam pengertian sunnah; satu sisi (sebagaimana telah
ditetapkan definisi khususnya oleh para ulama hadis) sunnah sebagai
peninggalan Rasulullah Saw. berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat;
sisi lain (sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama Fiqh) sunnah sebagai
hukum amalan ibadah yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan
tidak mendapat dosa; satu sisi lagi (sebagaimana pengertian hadis di atas) sunnah
sebagai ketetapan atau jalan yang menjadi contoh atau kebiasaan yang
ditiru orang lain.
Jadi, apa saja yang oleh para ulama
dikategorikan sebagai bid’ah hasanah sebenarnya
adalah sunnah hasanah. Menolak adanya kategori
bid’ah hasanah berarti juga secara tidak
langsung menolak adanya kategori sunnah hasanah. Pada
poin ini, kaum salafi & wahabi (dengan pandangan mereka membatasi kebaikan
& kebenaran agama hanya ada pada generasi ulama salaf, dan dengan sikap
penolakan mereka terhadap adanya bid’ah hasanah)
bisa dianggap telah mencampakkan dua hadis Rasulullah Saw. (entah karena tidak
mengerti atau karena tidak sengaja), yaitu: Hadis mengenai akan datangnya ulama
mujaddid pada akhir setiap masa seratus tahun,
dan hadis tentang adanya sunnah hasanah yang
tidak terbatas pada Rasulullah Saw. dan para shahabat saja.
Labels:
Tugas Kuliah
Subscribe to:
Posts (Atom)